Sunday, November 9, 2014

weave house



Dirancang oleh Meridian 105 Arsitektur, 'Perumahan Weave' merupakan proposal desain untuk sebuah kompleks mixed use perkotaan di Denver CO, dengan 160 unit apartemen, ritel dan parkir. Terinspirasi oleh anak-anak lampin tenun, tekstur fasad mendukung beberapa pengaturan interior apartemen dengan unit menempati satu atau dua teluk lebar, dan satu atau dua tingkat tinggi, yang memungkinkan untuk fleksibilitas dan berbagai rencana. Dengan tenun volume occupiable seluruh fasad, balkon pribadi dan overhang diciptakan, mendirikan zona shading alami dan memenuhi strategi energi pasif yang diinginkan. Dimensi panjang masing-masing unit apartemen membentang sejajar dengan koridor, mengambil keuntungan dari cahaya alami dan pemandangan sambil meminimalkan cahaya kedalaman diminta untuk menembus ruang.

Terbuat dari prefabrikasi, pabrik dibangun bagian, komponen facade akan dikirim ke situs dan mengangkat ke tempatnya, memfasilitasi presisi yang lebih besar dan waktu konstruksi yang cepat. Bahan kinerja tinggi yang diusulkan, termasuk argon diisi, unit kaca terisolasi dengan rendah-e pelapis dan pola shading frit, mencapai nilai panas yang tinggi dengan tetap menjaga fasad transparansi dan transmisi cahaya. Beton isolasi ringan mengurangi bridging dingin di balkon kantilever dan mengurangi berat bangunan keseluruhan dan pondasi sizing.


Strategi prefabrikasi agresif menargetkan kandang bangunan, meminimalkan durasi konstruksi dan membebaskan uang untuk investasi di bahan unggul.


 





Jadi, apartemen yang disebut weave house ini hemat energy, karena hampir semua mengandalkan pencahayaan alami, dan bangunan dibuat sedemikian rupa seperti keterangan diatas agar suhu tetap sejuk, dengan kata lain kita backt to nature, kita tidak terlalu mengandalkan listrik, meskipun perlu, mungkin tidak sebanyak yang digunakan jika memakai konsep bangunan yang seperti ini.

Saturday, November 8, 2014

Green Plan



Vertical Garden Patrick Blanc Solusi RTH Jakarta
Secara harfiah taman vertikal adalah taman yang dibangun secara tegak lurus atau vertikal (90o), dan pada umumnya menempel di dinding. Di dunia internasional taman vertikal memiliki banyak sebutan, diantaranya: vertical garden, vertical landscape, greenwall, living wall dan lain sebagainya.
Terdapat 2 jenis taman vertikal yaitu green façades dan living wallsGreen Facades merupakan dinding yang ditumbuhi dengan tanaman yang merambat yang langsung tumbuh di dinding, sedangkan Living Wall (Patrick Blanc) merupakan dinding yang diberi media tanam untuk tanaman. Jenis ini biasanya terdiri dari rangka (frame), pvc foam board, felt, sistim irigasi/penyiraman dan pemupukan otomatis, dan tanaman itu sendiri. Sistem vertical garden Patrick Blanc ini memiliki kelebihan antara lain bisa diterapkan pada gedung-gedung bertingkat hingga puluhan lantai, tanpa kekhawatiran roboh karena menggunakan rangka yang menempel di gedung seperti pemasangan kaca.
Taman vertikal dapat  membantu menyelesaikan masalah penghijauan pada area yang memiliki lahan/bidang horizontal yang luasnya terbatas. Beberapa manfaat Vertical Garden antara lain:
    • Menambah keindahan alami lingkungan
    • Menciptakan taman cantik di lahan terbatas
    • Menahan panas dari luar
    • Mengurangi tingkat kebisingan suara
    • Mengurangi polusi udara
    • Menangkap partikel-partikel kotoran
    • Meningkatkan suplai oksigen
  • Mempercantik wajah kota
Jadi, vertical garden adalah solusi membuat hutan kota tanpa menambah lahan tanah. Untuk lebih jelas, bisa membaca buku Vertical Garden from nature to city karya Patrick Blanc. Indoneta Plan to Plant.Selain itu, dapat memberikan efek sejuk pada bangunan atau gedung yang diberi vertical garden dan meminimalisir berkurangnya lapisan ozon, bias juga untuk resapan air hujan, karena tanaman, atau tumbuh-tumbuhan yang menempel akan menyerap air.
SUMBER :
green.kompasiana.com  ,   http://ialilampung.wordpress.com/berita/plan-to-plant-solusi-ruang-terbuka-hijau-jakarta/

Sunday, October 19, 2014

Arsitektur dan Lingkungan



Geometri Sebagai 
Ekspresi Kebebasan Bentuk

Antara geometri itu mengikat atau membebaskan, masing-masing
memiliki kedudukan atau posisi yang sama kuat. Tetapi pada kesempatan ini,
saya akan coba membahas geometri sebagai sesuatu yang membebaskan di
dalam dunia arsitektur. Mungkin pertanyaan yang timbul adalah: Seperti apakah
kebebasan yang ada di dalam geometri? Dalam wujud apakah kebebasan itu?”


“…,because we don’t want to exclude everything in architecture that
makes us uneasy. We want architecture that has more to offer. Architecture
that bleeds, exhausts, that turns and even breaks, as far as I
am concerned. Architecture that glows, that stabs, that tears and rips
when stretched. Architecture must be precipitous, fiery, smooth, hard, angular, brutal, round, tender, colorful, obscene, randy, dreamy, ennearing,
distancing, wet, dry and heart-stopping. Dead or alive. If it is
cold, then cold as a block of ice. If it is hot, then as hot as a tongue of
flame. Architecture must burn?” (Coop Himmelb(l)au, Covering and
Exposing: The Architecture of Coop Himmelb(l)au)


mengawali pembahasan geometri sebagai sesuatu yang membebaskan di dalam
dunia arsitektur. Untuk lebih jelasnya, saya akan mencoba sedikit mengupas
mengenai sejarah dari Coop Himmelb(l)au. Coop Himmelb(l)au yang didirikan
oleh Wolf D. Prix dan Helmut Swiczinsky pada tahun 1968 di Vienna (Austria)
adalah salah satu praktisi arsitektur muda pada masa itu dengan ide-ide baru
yang cukup radikal. Modernisme dengan dominasi rasionalitasnya dianggap
membatasi arsitek dalam menjelajahi kemungkinan bentuk-bentuk baru dalam
bahasa arsitektur. Oleh karena itu, Coop Himmelb(l)au berusaha mengeksplorasi
dan mencari kemungkinan-kemungkinan lain dalam “bahasa arsitektural”. Coop
Himmelb(l)au berusaha menciptakan perubahan mendasar pada arsitektur, urbanisme,
struktur, dan tektonik. Dapat dikatakan Coop Himmelb(l)au berusaha
mencari ”arsitektur yang merdeka”.
Geometri berarti ilmu ukur suatu ruang. Dan ruang yang dimaksud
adalah bumi, tempat kita sebagai manusia hidup dan menetap. Jadi geometri
berarti measuring the earth. Kata-kata ”bumi” (geo) inilah yang tidak disadari
oleh kita, padahal kata-kata “bumi” merupakan sesuatu yang sangat krusial di
dalam pengertian dasar mengenai arti dari geometri.



Bumi adalah alam, dan alam pada dasarnya adalah sesuatu yang dinamis dan
tidak statis, penuh dengan perubahan. Alam merupakan sesuatu yang bebas,
tidak terikat. Dari pengertian ini, kita bisa menyimpulkan bahwa geometri adalah
sesuatu yang pada dasarnya adalah bebas, penuh dengan kedinamisan.
Bukti lain bahwa geometri itu merupakan suatu dunia yang kaya dan luas adalah
adanya pengertian mengenai topologi dan mobius strip. Di dalam topologi terjadi
sesuatu yang dinamakan deformasi. Deformasi terjadi oleh karena suatu gaya
(force), namun konektivitas (connectivity) di dalam form atau bentuk geometri
tersebut tetap terjaga. Sehingga terwujud suatu keutuhan (wholeness) di dalam
form tersebut. Hal ini seharusnya juga berlaku di dalam setiap karya arsitektur.
Meskipun suatu karya arsitektur terlepas dari bentuk-bentuk yang mengikat seperti
bentuk Euclidean, tetapi karya ”arsitektur yang bebas” itu juga harus tetap
mengutamakan konektivitas dan keutuhan.

Deformasi atau perubahan ini pun sekarang sangat
mempengaruhi bentuk (form) dari geometri.
Gagasan tentang bentuk geometri pun mulai
berubah. Ruang dan geometri bergeser dari
geometri Euclidean dengan aturan translasinya
dalam ruang cartesian ke geometri topologi dengan
perubahan vektoralnya, sehingga bentuk
dari karya arsitektur itu sendiri menjadi bebas
dan tidak terikat lagi oleh aturan-aturan klasik.

Inilah yang dikenal dengan sebutan gagasan
Flux(sebuah konsentrasi sementara yang terus
bergerak dan berubah) di dalam dunia arsitektur
yang menghadirkan persepsi baru terhadap ruang
dan bentuk karya rancang arsitektur secara
konseptual maupun dalam pengapresiasiannya.
Bentuk dan ruang seolah berkembang dan lahir
dari sebuah alur perubahan yang dinamis dalam
ruang. Hal ini merupakan ekspresi kebebasan
suatu bentuk (form) dalam geometri.

Arsitektur dan geometri tidak harus menuruti apa yang telah ada sebelumnya,
tetapi mewujudkan sebuah ruang yang bebas dimana kita dapat menjelajahinya.
Pada akhirnya arsitektur dan geometri harus membuat tempat yang disebut sebagai
ruang kebebasan. Sebagai bentuk dan ekspresi kebebasan diri, terkadang
arsitektur diwujudkan sebagai bentuk atau form yang mungkin saja tidak dapat
hadir di dalam dunia nyata, tetapi hanya dapat hadir di dalam suatu imajinasi
atau electrosphere dengan bantuan kecanggihan teknologi virtual.

Di dalam geometri kita juga diberikan kebebasan untuk menggunakan ide di
dalam merancang suatu karya arsitektur (form). Ternyata banyak sekali alternatif
atau pilihan prinsip geometri di dalam merancang, seperti menggunakan prinsip
classical idea, euclidean, non-euclidean, topologi, teori gestalt, teori gibson,
taksonomi, dan lainnya. Hal-hal inilah yang sebenarnya tidak kita ketahui sebelumnya,
bahwa di dalam geometri terdapat banyak ide atau pemikiran. Sehingga
suatu bentuk dan karya arsitektur yang dihasilkan pun akan sangat kaya dan
beragam ekspresinya maupun wujudnya.

Bentuk atau form yang ”bebas” bukanlah berarti suatu bentuk yang sebebasbebasnya.
Arsitektur tetap harus dapat menjadi perlambang sesuatu, atau pun
perlambang dirinya sendiri. Arsitektur harus dapat menyampaikan isi atau makna
yang terkandung di dalamnya. Lenih jauh lagi arsitektur harus menimbulkan
pertanyaan, ”Mengapa dan bagaimana ia diciptakan?”.

Kesimpulan yang kita dapat,Arsitektur adalah ilmu bagaimana bias mewujudkan gambaran,ide,pemikiran kita menjadi suatu bangunan yang memiliki makna,rasa dan jiwa,dan geometri merupakan dasar dmana kta mengenal bentuk simetris tetapi tidak sekedar bentuj yang simetris ataupun formal, jika kita gali lebih dalam mengenai ilmu geometri,kita bias bersatu dengan bumi melalui kreativitas bentuk. Jika kedua ilmu tersebut melebur dengan sempurna, maka dampak buruk bagi lingkungan sekitar bisa diminimalisir. Dalam mendesain suatu bangunanpun akan semakin inovativ dan fungsional.

Sumber :
http://arsitektur.net/57/volume-1-no-1-geometri-dalam-arsitektur-membebaskan-atau-mengikat/

Sunday, April 27, 2014

TUGAS KE2 IBD

revolusi budaya


 

Tugas Ilmu Budaya Dasar “Revolusi Budaya
 Revolusi adalah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu dan dapat dijalankan tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama.
 
 
Contoh Revolusi Kebudayaan
kebudayaan di Indonesia juga mengalamai revolusi , bahkan di masa pra sejarah sekalipun  , sebagai contohnya adalah: Pembagian zaman dalam prasejarah diberi sebutan menurut benda-benda atau peralatan yang menjadi ciri utama dari masing-masing periode waktu tersebut. Adapun pembagian kebudayaan zaman prasejarah tersebut terdiri dari:

I. Zaman Batu Tua (Palaelitikum)
Berdasarkan tempat penemuannya, maka kebudayaan tertua itu lebih dikenal dengan sebutan Kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.

1.Kebudayaan Pacitan
Pada tahun 1935 di daerah Pacitan ditemukan sejumlah alat-alat dari batu, yang kemudian dinamakan kapak genggam, karena bentuknya seperti kapak yang tidak bertangkai. Dalam ilmu prasejarah alat-alat atau kapak Pacitan ini disebut chopper (alat penetak). Soekmono mengemukakan bahwa asal kebudayaan Pacitan adalah dari lapisan Trinil, yaitu berasal dari lapisan pleistosen tengah, yang merupakan lapisan ditemukannya fosil Pithecantropus Erectus. 
 
II. Zaman Batu Madya (Mesolitikum)
Peninggalan atau bekas kebudayaan Indonesi zaman Mesolitikum, banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Flores. Kehidupannya masih dari berburu dan menangkap ikan. Tetapi sebagian besar mereka sudah menetap, sehingga diperkirakan sudah mengenal bercocok tanam, walaupun masih sangat sederhana.
Bekas-bekas tempat tinggal manusia zaman Mesolitikum ditemukan di goa-goa dan di pinggir pantai yang biasa disebut Kyokkenmoddinger (di tepi pantai) dan Abris Sous Roche (di goa-goa). Secara garis besar kebudayaan zaman Mesolitikum terdiri dari: alat-alat peble yang ditemukan di Kyokkenmoddinger, alat-alat tulang, dan alat-alat flakes, yang ditemukan di Abris Sous Roche.

III. Zaman Batu Muda (Neolitikum)
Zaman Neolitikum merupakan zaman yang menunjukkan bahwa manusia pada umumnya sudah mulai maju dan telah mengalami revolusi kebudayaan. Dengan kehidupannya yang telah menetap, memungkinkan masyarakatnya telah mengembangkan aspek-aspek kehidupan lainnya. Sehingga dalam zaman Neolitikum ini terdapat dasar-dasar kehidupan. Berdasarkan alat-alat yang ditemukan dari peninggalannya dan menjadi corak yang khusus, dapat dibagi kedalam dua golongan, yaitu:
  
 1.Kapak Persegi
Sebutan kapak persegi didasarkan kepada penampang dari alat-alat yang ditemukannya berbentuk persegi panjang atau trapesium (von Heine Geldern). Semua bentuk alatnya sama, yaitu agak melengkung dan diberi tangkai pada tempat yang melengkung tersebut. Jenis alat yang termasuk kapak persegi adalah kapak bahu yang pada bagian tangkainya diberi leher, sehingga menyerupai bentuk botol yang persegi.

2.Kapak Lonjong
Disebut kapak lonjong karena bentuk penampangnya berbentuk lonjong, dan bentuk kapaknya sendiri bulat telur. Ujungnya yang agak lancip digunakan untuk tangkai dan ujung lainnya yang bulat diasah, sehingga tajam. Kebudayaan kapak lonjong disebut Neolitikum Papua, karena banyak ditemukan di Irian.

IV. Zaman Logam
Zaman logam dalam prasejarah terdiri dari zaman tembaga, perunggu, dan besi. Di Asia Tenggara termasuk Indonesia tidak dikenal adanya zaman tembaga, sehingga setelah zaman Neolitikum, langsung ke zaman perunggu. Adapun kebudayaan Indonesia pada zaman Logam terdiri dari:

1.Kebudayaan Zaman Perunggu
Hasil-hasil kebudayaan perunggu di Indonesia terdiri dari: kapak Corong yang disebut juga kapak sepatu, karena bagian atasnya berbentuk corong dengan sembirnya belah, dan kedalam corong itulah dimasukkan  tangkai kayunya
 
 2.Kebudayaan Dongson
Dongson adalah sebuah tempat di daerah Tonkin Tiongkok yang dianggap sebagai pusat kebudayaan perunggu Asia Tenggara, oleh sebab itu disebut juga kebudayaan Dongson. Sebagaimana zaman tembaga, di Indonesia juga tidak terdapat zaman besi, sehingga zaman logam di Indonesia adalah zaman perunggu.


V. Zaman Batu Besar (Megalitikum)
Zaman Megalitikum berkembang pada zaman logam, namun akarnya terdapat pada zaman Neolitikum. Disebut zaman Megalitikum karena kebudayaannya menghasilkan bangunan-bangunan batu atau barang-barang batu yang besar. Peninggalan-peninggalannya yang terpenting adalah:
1.Menhir, yaitu tiang atau tugu yang didirikan sebagai tanda peringatan terhadap arwah      nenek moyang.
2.Dolmen, berbentuk meja batu yang dipergunakan sebagai tempat meletakkan sesajen yang dipersembahkan untuk nenek moyang.
3.Sarcopagus, berupa kubur batu yang bentuknya seperti keranda atau lesung dan mempunyai tutup.
4.Kubur batu, merupakan peti mayat yang terbuat dari batu.
5.Punden berundak-undak, berupa bangunan pemujaan dari batu yang tersusun bertingkat-tingkat, sehingga menyerupai tangga.
6.Arca-arca, yaitu patung-patung dari batu yang merupakan arca nenek moyang.
Hasil-hasil kebudayaan Megalitikum di Indonesia mempunyai latar belakang kepercayaan dan alam pikiran yang berlandaskan pemujaan terhadap arwah nenek moyang.
 
SUMBER